Friday, November 5, 2010

The Boy in the Striped Pyjamas


Sebelum saya lupa, kali ini saya akan menulis resensi film yang kemarin saya tonton, judulnya The Boy in the Striped Pyjamas. Film ini diangkat dari novel karangan John Boyne (2006) yang merupakan best seller di Amerika (menurut NY Times), dan juga di berbagai negara di seluruh dunia. Filmnya kemudian dirilis tahun 2008.

Film ini bersetting di Jerman, mungkin sekitar tahun 1930an, atau awal 1940an, saat NAZI masih berkuasa di Jerman.
Bruno, karakter utama dalam film ini, adalah putra seorang perwira tinggi NAZI. Awalnya, Bruno dan keluarganya hidup tenang di Berlin, sebelum ayahnya dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, menjadi kepala kamp konsentrasi Yahudi di sebuah desa. Digambarkan ayahnya adalah perwira berkarier sukses, dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang pandai dan berhati lembut.
Saat pindah ke rumahnya yang baru, Bruno dan kakak perempuannya, Gretel tidak bersekolah seperti biasa, melainkan bersekolah di rumah. Karena itu, Bruno merasa kesepian dan tidak punya teman. Bruno sering melihat lewat jendela kamarnya, ada suatu tempat yang dianggapnya “pertanian” dan Ia melihat sekelompok “petani” dan anak-anak yang kesemuanya menggunakan “piama” bergaris.
“Pertanian” yang dilihat Bruno itu ternyata adalah kamp konsentrasi. Bertembok duri dan beraliran listrik, kamp konsentrasi tersebut dikepalai oleh ayahnya. Diam-diam pergi ke “pertanian” tersebut, Bruno kemudian bertemu dengan Shmuel, anak yang biasa duduk di sudut halaman dalam kamp sambil menunggu waktu wajib bekerja habis. Mereka berinteraksi tidak seperti anak-anak biasa karena terbatas pagar kamp.
Cerita ini jelasnya sama sekali tidak berakhir “happy ending”. Di akhir cerita, bahkan Bruno dan Shmuel ikut masuk dalam kamar gas bersama puluhan orang-orang yang sudah tua, tanpa sempat diselamatkan oleh ayah Bruno walaupun sudah berlari dalam hujan.
Diceritakan bagaimana kehidupan dalam kamp, tentang teoritis kehidupan dalam kamp dan penerapannya yang jauh dari kata layak dan manusiawi. Dalam film ini, juga dapat diketahui bahwa tidak semua orang Jerman pada zaman itu, bahkan ibu Bruno sendiri sebagai istri perwira NAZI, mengetahui apa yang dialami orang-orang Yahudi tersebut setelah masuk dalam kamp konsentrasi. Karena itu, saat mengetahui fakta yang terjadi dalam kamp, ibu Bruno stres dan berniat memindahkan Bruno dan kakaknya ke tempat yang lebih aman bagi perkembangan psikis mereka.
Dalam cerita ini juga diketahui bahwa orang Yahudi yang bersedia menjadi tentara NAZI, akan selamat dari holocaust. Namun, tentu saja, dengan menjadi tentara NAZI, mereka harus memburu dan menganiaya saudara-saudara mereka sendiri.
Dalam film ini, dikemukakan berbagai sisi lain dari bangsa Yahudi yang dikenal cerdas namun kejam (akibat invasi Israel ke Palestina). Setiap orang tentu tidak setuju adanya holocaust bukan, karena di hati nurani setiap insan yang beradab pasti menyimpan rasa kemanusiaan terhadap sesama manusia. Holocaust memang semestinya tidak boleh ada, namun bangsa Yahudi juga tidak perlu melakukan invasi ke Palestina.
*setelah melihat Wikipedia, baru nyadar kalau pemeran ayahnya Bruno adalah pemeran Remus Lupin di Harry Potter, hahaha :D*