Tuesday, December 7, 2010

Pemain Timnas Indonesia Yang Tidak Bisa Berbahasa Indonesia


Hari Sabtu yang lalu saat saya makan nasi-lele goreng (hmm, saya lagi hobi makan dengan menu ini, sudah sangat amat bosan dengan unggas), ada sekelompok bapak2-mas2-adik2 yang sedang sibuk nonton pertandingan sepakbola piala AFF 2010, tentu saja dengan suara dan teriakan yang heboh. Saya agak lupa, sepertinya Indonesia-Laos, dimana akhirnya Indonesia menang dengan skor 6-0.
Yang menjadi perbincangan adalah, membaiknya penampilan Indonesia ini setelah sebelumnya mengalahkan Malaysia 5-1, disebut-sebut sebagai hasil dari naturalisasi dua pemain berkewarganegaraan asing, seperti Christian Gonzales dan Irfan Bachdim. Yah, mungkin saja, bisa ya, dan bisa tidak.
Selanjutnya, bahasan akan saya persempit pada Irfan Bachdim. Kenapa? Karena saya sudah bosan mendengar dan melihat beritanya dimana-mana. Mulai dari anak kos yang membahas: “cakep mbak, mendingan daripada Bambang Pamungkas, hehe”. Presenter acara gossip yang meniru gaya selebrasi Bachdim setelah mencetak gol, dengan wajah yang tampak ngefans. Internet (browser favorit tempat semua orang membuat account email) yang beritanya juga membahas Bachdim ini, sampai jejaring sosial tempat orang ngoceh (yang ada gambar burungnya itu lho) yang menjadikannya sebagai trending topic. Sehingga, saya gerah dan merasa perlu membahas hal ini. *hehehe
Menurut saya, pemain sekaliber timnas Indonesia harus menguasai Bahasa Indonesia. Sedangkan, yang saya lihat dan dengar, ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Wah, payah dong, karena pemain timnas adalah representator masyarakat Indonesia juga kan. Selain itu, sepertinya gaya hidupnya sangat tidak “Indonesia” sekali. Buktinya, terdapat tato di sepanjang lengan atas dan bawah seperti lengan baju panjang ala Wentworth Miller *tapi Miller jauh lebih keren, hehe*. (Yah, saran saya: Bachdim les bahasa Indonesia aja sana, trus pake baju panjang kayak Tora Sudiro, biar ga keliatan tato nya, ngeri banget liat ada preman di lapangan bola di Indonesia, hehe.)
Kalau mau naturalisasi, kenapa tidak sekalian saja Francesc Fabregas ditarik menjadi WNI? Hahaha. Yah, kalau Indonesia hanya mengandalkan pemain hasil naturalisasi, jelas timnas tidak akan maju. Baiknya klub-klub lokal mulai membenahi sistem regenerasi pemain. Carilah pemain-pemain muda berusia belasan dibawah 15 tahun, kemudian dibina seperti halnya Manchester United atau Arsenal.              
Hal yang saya takutkan, jika PSSI melihat hasil kerja pemain naturalisasi ini bagus dan menganggap perlu adanya lebih banyak naturalisasi pemain. Kenapa? Jangan-jangan nantinya lebih dari 90% timnas inti berisi pemain hasil naturalisasi yang berwajah “indo” dan tidak bisa berbahasa Indonesia. *naudzubillah*. Padahal kan judulnya: Tim Nasional Indonesia…


Sunday, December 5, 2010

Pandemi BlackBerry


Dulu saya pernah ingin membahas topik ini, tapi baru sekarang terlaksana, setelah membaca artikel Yahoo!.
Saya baru saja membaca artikel di Yahoo!, tentang presiden Amerika Serikat yang ternyata tidak menggunakan iPad untuk menemaninya kemana-mana. Obama ternyata hanya dibantu oleh asisten “manual”, yaitu asisten pribadinya yang membawakan buku-buku yang juga manual. Padahal, produk-produk Apple seperti telah menjadi produk IT wajib di Amerika, bahkan menjadi salah satu produk terbaik di dunia (yang jelas lebih keren Macbook lah daripada notebook Taiwan atau China, bahkan Indonesia—yang merknya semakin lama semakin aneh-aneh, haha).
Padahal, presiden kita tercinta SBY akhir-akhir ini sering membawa-bawa iPad (yaah, bukan beliau sendiri sih yang membawa, pasti asistennya) yang terlihat ada di mimbar saat beliau berpidato. Menurut saya, bisa dibilang, presiden merupakan representasi dari masyarakat. Salah satu kebiasaan bangsa Indonesia yang telah membudaya adalah budaya ikut-ikutan.
BlackBerry, sebuah smartphone (saya tidak perlu menjelaskan ya, semua pasti juga sudah mengerti, :p) yang booming sejak kampanye Obama sekarang menyebar dimana-mana seperti pandemi di seluruh Indonesia. Mulai dari para pengusaha, artis dan pejabat yang pertama-tama menggunakannya, sekarang menyebar lebih luas pada karyawan biasa, mahasiswa, bahkan anak sekolah dasar! (yang terakhir ini, wah, saya sangat prihatin, harusnya kan dalam usia sebesar itu perhatian mereka masih terpusat pada bermain, olahraga dan berkegiatan fisik dengan teman sebayanya, bukan fokus pada BlackBerry nya).
BlackBerry Storm
Saya pribadi memandang BlackBerry bukan sesuatu yang sangat perlu untuk saya sendiri. Fungsi berinternet, masih tersedia internet unlimited via modem yang sangat mobile (modemnya sih mobile, tapi laptopnya ‘cukup’ mobile—karena ‘agak’ besar, hahaha). Fungsi telepon dan sms, tentu saja, bisa disediakan juga oleh telepon seluler biasa bahkan yang layarnya monokrom, hehe. Fungsi BlackBerry Messenger memang tidak bisa digantikan apapun (—kecuali Nexian Messenger, haha). Tetapi, menurut saya sms kan juga cepat, hanya dalam hitungan beberapa detik lebih lama teks dapat terkirim.
Suatu saat pernah saya mengantar kakak sepupu saya yang ingin membeli telepon seluler baru. Pilihannya jatuh pada BlackBerry (tipenya lupa), Nokia Supernova (tipe berapa ya, saya lupa juga), dan Sony Ericksson semi smartphone (tipenya juga lupa, hehe :p). Ketika membandingkan ketiganya, kurang lebih percakapan kami seperti ini:
(KSSà Kakak Sepupu Saya; Sà Saya)
KSS         : bagusan yang mana ya dek?
S              : hmm, supernovanya sliding mba, cepet rusak. Kalo Sony Ericksson, lebih kecil daripada BlackBerry, megangnya lebih enak. Tapi kalo BlackBerry, walaupun gede, kan qwerty. Cuma, SE (Sony Ericksson) kan nggak qwerty. Terserah milih mana, kalo aku mending SE nya..
KSS         : qwerty itu apa?
S              : ??????? (berpikir: katanya mau beli BlackBerry, masa qwerty aja kaga tau, ckckck)
Menurut saya, pandemi BlackBerry ini terjadi 30% karena kebutuhan, dan sisanya hanya untuk mengikuti tren. Alasannya? Para pengguna ini rata-rata tidak memanfaatkan alat ini dengan fungsional. Hanya untuk BBMan saja misalnya (wah, khasnya anak muda sekali, haha), atau berinternet saja, misalnya. Padahal, fungsi organizer juga penting lho, agar jadwal para pengusaha atau pejabat ini tidak berantakan.
Banyak pengguna BlackBerry yang masih gaptek alias tidak mengerti (atau malas belajar ya? entahlah,,) caranya menggunakan smartphone itu. Mestinya, sebelumnya beli buku panduan yang enak dibaca, sekalian saat membeli BlackBerry, biar terlihat sama pintar seperti telepon selulernya, :p. Apalagi, bapak-bapak dan ibu-ibu yang jelas-jelas neuron-neuronnya sudah mati satu per satu perlahan-lahan. Generasi ini tentu saja perlu tutor yang menjelaskan cara menggunakan smartphone canggih yang baru saja dibeli. Dan tentu saja, generasi yang lebih muda (misalnya anak, keponakan, cucu) wajib menjelaskan dengan sangat sabar (haha).
Karena itu, ketika Ayah saya menelepon, dan tiba-tiba (entah ide ini datang dari mana) berencana ingin membeli BlackBerry, saya spontan teriak: JANGAAAN!!!