Tuesday, November 22, 2011

Salah Kaprah: Translation and Medical Things

Carilah di kamus, apa sih artinya heart? Artinya kan Jantung. Bedanya hati sama jantung? Jelas beda dong!! (hanya orang tulalit stadium akhir yang nggak ngerti!). Anak usia sekolah dasar saja sudah mengerti.. -_-“.
                Jadi kenapa orang Indonesia men-translate-kan heart as hati? Mungkin karena menurut orang Indonesia, organ yang paling penting hati kali ya. Secara, organ terbesar, tempat buang sampah dan recycle bin, hehe. Tapi, bukankah hepar nggak punya peran vital sign? Vital sign kan hanya dipunyai oleh kardiovaskular dan paru, hehe. Pentingan jantung dong, kalau begitu.
ini gambar apa?
 jawab: ada yang bilang Hati kaaan. padahal ini lebih mirip jantung.. seperti yang dibawah ini.
 see? kedua gambar diatas memiliki kemiripan. nah, sedangkan gambar dibawah ini? gambar dibawah ini adalah HATI dalam arti sebenarnya (LIVER). sepertinya tidak mirip apa-apa. :) nah, berbeda sekali bukan jantung dengan hati?

                Paling ngakak dan sebel, waktu nonton film Heart yang dibintangi Nirina, Irwansyah, dan Acha. WTH, judulnya kenapa Heart sih?? Ganti aja judulnya jadi: LIVER. Emang sih ga menarik. Tapi kan pembohongan publik dapat dihindari. Kalau mau judulnya HEART, transplantasinya jangan hati dong, tapi jantung. Sesuaikan dong dengan namanya, hehe.
--berlanjut ya, keanehan di film ini, hubungannya dengan dunia medis betulan--
                Dulu itu kenapa ya Nirinanya bisa meninggal? Kehilangan darah ya? Saya dulu nangkepnya Nirinanya berkorban mati demi mendonorkan hatinya ke Acha. Kalau memang benar begitu, yaampun cape deh. Masa transplantasi hepar harus nunggu donornya meninggal? Kan bisa dilakukan live liver transplantation..
                Kalau Acha sakit hepar kronis (kayaknya sih sirosis,,), mestinya bukan kayak gitu penampakan darah yang keluar dari mulutnya. Darah harusnya dimuntahkan, bukan dibatukkan. Dan warnanya tidak merah cerah, tapi agak kehitaman. Darahnya kan masuk gaster dulu, baru keluar lagi. Jadi tidak mungkin warnanya merah cerah seperti itu -_-“.
                Dan lagipula, cepat sekali persiapan transplantasinya!! Masa nggak ada pencocokan dan persiapan transplantasinya?? Kalau nanti reaksi penolakannya parah gimana? Bahaya banget kan itu! Emangnya gampang nyiapin pasien buat periapan preoperatifnya? Benar-benar hebat sekali dokternya (kalau nggak mau dibilang payah, hehe). Lagipula, hebat banget ya rumah sakit dalam film itu.. kayaknya RSnya kecil, ndeso, tapi kok peralatan transplantasinya lengkap ya? (ketawa dalam hati, hahaha).
                Rasanya jadi pingin bikin film bertema kedokteran nih, yang realistis dan tidak membohongi publik. Kasihan kan, masyarakat Indonesia menjadi bodoh akibat menonton film-film yang nggak masuk akal. Mungkin tentang virus flu anjing? (-- ngarang banget, haha).
                Produser Indonesia, mungkin anda perlu medical consultant untuk film/sinetron anda? Bisa tuh kayaknya jadi lapangan pekerjaan untuk para koas dan dokter fresh graduate. :) Film/sinteron anda akan menjadi realistis, dan dapat meningkatkan rating lho (hahaha :) ).

Tuesday, November 8, 2011

Apa, Bagaimana?

Pengantar. Weekend Idul Adha ini, saya main ke Ungaran dan dicurhati serta mewawancara ketiga kakak sepupu saya. Dari sesi curhat, wawancara dan sebagainya itu, saya akhirnya mendapat suatu ide yang inspiring sekali.
                Oke. Saya kali ini ingin membahas, setelah lulus mau gimana dan mau bagaimana? Hal ini terkait sekali dengan karir, jodoh, dan prospek hidup kedepan. *kok kayak primbon malahan, hahaha*. Kenapa?
                Waktu bayi sampai kuliah, orangtua adalah power supply kebutuhan kita. Begitu lulus, otomatis kita bertanggung jawab untuk bekerja sendiri, menghasilkan biaya untuk kebutuhan kita sendiri. Bisa membiayai hidup sendiri? Sudahkah lepas tanggung jawab orangtua? Jawabannya bisa ya atau tidak. Ya untuk anak yang mandiri dan bertanggung jawab, sedangkan tidak untuk anak manja yang kurang bertanggung jawab, atau orangtua yang terlalu protektif.
                Menikah, butuh tanggung jawab yang lebih besar lagi. Saya bahas ini dari segi finansial saja ya, hehe. Bagi mas2 yang menikah, berarti menambah satu tanggung jawab lagi selain diri sendiri, yaitu istrinya. Artinya? Mbaknya ini menggantungkan hidupnya pada masnya. Masnya lah yang bertanggung jawab penuh atas mbaknya. *bingung? Ruwet sih memang, :D*
Apa hubungan orangtua, fasilitas, manja, bekerja, mandiri dan menikah?
                Saat anak masih berada dibawah tanggung jawab orangtua, mungkin banyak orangtua yang ingin memberi yang terbaik bagi anaknya. Menurut sudut pandang saya, sedikit banyak hal ini dapat membentuk karakter si anak tersebut. Anak yang terbiasa dimanja, kalau mendapati suatu keadaan yang kurang nyaman, akan mengeluh.
                Orangtua yang mendidik anaknya untuk mandiri, anak ini akan terbiasa hidup mandiri tanpa fasilitas berlebih dari orangtua. Mendapati keadaan yang kurang nyaman, mungkin bisa saja muncul keluhan, tetapi tentu saja tidak separah anak yang terbiasa dimanja.
                Bekerja, berarti lepas dari tanggung jawab orangtua. Iya, bagus sih kalau setelah bekerja, hasil keringat sendiri ini minimal bisa menyamai keadaan waktu masih disupply orang tua. Tapi, kalau sebaliknya? Pasti yang timbul adalah keluhan dan kesedihan *rada lebay sih*. Buat orang yang melankolis, pasti gejala yang timbul adalah menangis deh. *sok tau*
                Bayangkan, misalnya. Si A, waktu kuliah bawa mobil, kos di kos2an yang sebulannya 3 juta rupiah *ada ga ya, hohoho*, makannya aja sehari habis 150 ribu. Begitu kerja sendiri, sebagai freshgraduate gajinya paling-paling cuma 5 juta rupiah. Tidak mungkin cukup membiayai hidupnya sendiri. Kalau si A ini anak yang mandiri dan bertanggung jawab, pasti dia berusaha bagaimana caranya untuk tidak minta supply dari orangtuanya. Nah, karena berusaha sendiri itulah, pasti dia akan menyadari bahwa keadaannya sekarang tidak sama dengan saat masih disupply orang tua.
                Kalau saya jadi si A à nangis2, sedih, huhuhu, mama, papa, aku ga mau misah dari kalian, ga mau lepas dari tanggung jawab kalian. *lhooo, kok enak??. :p* Sedih bukan rasanya kalau ternyata kehidupan kita dulu waktu masih jadi anak Papi-Mami ternyata jauh lebih enak daripada saat kita berusaha sendiri?
                Menikah? Lebih ruwet lagi. Kebutuhan istri harus dipenuhi. Malu kalau sampai tidak dapat memberikan nafkah yang layak (atau bisa juga disebut mapan) untuk istri, dan anak kalau misalnya sudah punya anak. Tidak mungkin kan minta orangtua lagi. Nah, begitu pula istrinya. Istri juga tidak mungkin bukan, minta supply dari orangtuanya. Bisa-bisa mencoreng muka suami bukan? Hehe.
Lalu?
                Saya minta orangtua saya untuk hanya memberikan fasilitas-fasilitas yang wajar kepada saya. Bukan apa-apa, hal ini untuk membiasakan diri untuk hidup mandiri dan tidak manja. Sehingga, ketika nanti saya terbentur ketidaknyamanan pasca lepas dari tanggung jawab orangtua, saya tidak akan syok dan mekanisme coping saya masih berjalan normal. Saya masih bisa mengkompensasi berbagai ketidaknyamanan yang saya temui. Saya bisa menghadapi ketidaknyamanan itu dengan sabar dan sewajarnya sebagaimana seseorang yang memulai segalanya dari awal.
Hasilnya?
                Kedua orangtua saya mengerti dan setuju. J Terimakasih Ayah dan Mama.. J Semoga kedepan nanti, saya bisa mandiri, dan menunjukkan kepada orangtua saya bahwa saya bisa menjadi produk didikan orangtua yang berhasil. Yay! Semangat! J
NB :
Terimakasih untuk ketiga kakakku, yang inspiring banget: Mas Adi, Mas Andi, dan Mbak Kiki. Semangat yaaa J