Friday, March 15, 2013

Stase #14: Jiwa


Inilah sekeping cerita yang datang dari suatu remote area di pinggir kota Surakarta, rumah sakit jiwa (RSJ) Daerah Surakarta, disingkat RSJD. Alkisah selama 4 minggu ini gue ikut stase psikiatri alias ilmu kedokteran jiwa. Jadi, di stase ini gue banyak menemukan pelajaran dari pasien di RSJD. Walaupun Cuma seminggu gue disana, tapi banyak banget yang bisa digali dari pasien-pasien disana.
Di RSJ ini, pasien masuk bangsal dengan jumlah tempat tidur yang banyak, tanpa ditunggu oleh keluarganya (yang ditunggu oleh keluarganya hanya bangsal NAPZA, bangsal kelas I dan VIP) . Ga kayak di rumah sakit umum Moewardi (tempat gue biasanya menjalani kehidupan perkoasan gue), di RSJD ini gak banyak keluarga pasien yang menjenguk pasien. Kalo Moewardi selalu penuh dengan keluarga atau kerabat yang mau menjenguk, RSJ ini selalu sepi oleh pengunjung pasien. Kalaupun ada, itu gak bakal banyak. Paling-paling dalam beberapa jam, kalau beruntung kadang ada keluarga pasien yang menjenguk. Dari situ gue ambil kesimpulan kalo pasien-pasien RSJ ini jarang dijenguk oleh keluarganya.
Sambil belajar psikiatri dari pasien-pasien disana, gue juga belajar bersyukur, bergaul, dan jadi gak takut sama orang dengan gangguan jiwa. Mereka sebenernya juga sama kayak kita, butuh keluarga, kangen rumah, butuh temen, walaupun ada juga yang seringnya sendirian aja. Tapi kebanyakan dari mereka seneng lho kalo dikunjungi koas, walaupun cuma sekedar ngajak ngobrol buat anamnesis pasien.
Misalnya, pasien skizofrenia. Ga banyak lho, keluarga yang bisa menerima keadaan pasien yang seperti itu. Banyak yang malah mengabaikan, menelantarkan, atau bisa juga memasung pasien. Padahal, pasien membutuhkan support dari orang-orang terdekat mereka. Keluargalah yang bisa memotivasi pasien untuk rajin minum obat, mengingatkan pasien untuk rajin beribadah, mengalihkan perhatian pasien dari halusinasi, ilusi, dan wahamnya, kepada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
Mereka sebenarnya juga bosan berada di bangsal RSJ, terkurung selama 24 jam sehari, walau kadang, untuk beberapa menit, ikut terapi musik, rehabilitasi dengan terapi kerja, dan lain sebagainya diluar bangsal. Ngapain aja mereka di bangsal? Makan, tidur, ngobrol sesama pasien, kayaknya Cuma itu-itu aja yang mereka kerjain. Mana bisa mereka baca buku, emangnya ada buku di bangsal? Mana bisa mereka main gitar di bangsal? Paling-paling mereka Cuma bisa nonton TV, yang acaranya gitu-gitu doang. Dan berbeda dengan orang dengan kelainan fisik, orang kelainan jiwa ini biasanya menjalani rawat inap selama berminggu-minggu, bisa berbulan-bulan bahkan.. (gue kurang tau kalo ada yang setahun lebih). Kasian kan?
Makanya, mereka butuh support keluarga, lingkungan, dan juga tenaga kesehatan. Keluarga ga malu, ga menyembunyikan mereka, dan malah mendorong pasien buat membaur dengan lingkungan. Keluarga perlu memotivasi pasien biar rajin minum obat, biar gejala-gejalanya cepet ilang, atau minimal. Lingkungan bisa berperan dalam menerima pasien untuk berbaur dengan masyarakat, tanpa harus melekatkan stigma yang buruk buat pasien skizofren, dan membantu pasien untuk bisa kembali hidup dalam realita yang sebenarnya. Tenaga kesehatan, dapat mengoptimalkan penatalaksanaan dan rehabilitasi pasien skizofren dan menyiapkan pasien untuk kembali hidup di masyarakat.
Hahaha. Sok teoritis ya gue? Gue Cuma menyampaikan apa yang gue liat, gue denger, gue rasa, dan gue pikir. Intinya sih, dukung, dan jangan kucilkan mereka.. J