Tuesday, March 22, 2011

Hikmahnya Nonton "TOLONG"

Saya baru saja menonton acara televisi, reality show yang cukup terkenal (jaman dulu, waktu awal-awal dirilis), yaitu acara TOLONG di sebuah stasiun televisi swasta. Memang kadang acara tersebut tidak ‘real’. Judulnya saja, reality show, tapi sebenarnya, ada skenario, sutradara, dan tentu saja pemainnya. Namun, kadangkala acara ini cukup membuat hati terharu.
Episode kali ini, berlokasi di Salatiga. Bapak yang akhirnya mendapatkan rezeki tak terduga ini adalah seorang penjual mainan anak-anak di depan sebuah sekolah dasar. Bapak ini membeli sangkar burung yang dijual oleh seorang anak yang ayahnya sakit. Untuk mencari biaya berobat, anak ini menjual sangkat burung tersebut. Sebenarnya anak ini hendak menjual burung beserta sangkarnya, namun burungnya lepas, sehingga tinggal sangkarnya saja. Kemudian bapak tua ini (63 tahun) karena kasihan mau membeli sangkar burung tersebut.
Apa yang menarik?
Saya agak terharu. Seorang Bapak, 63 tahun, dengan DM yang sudah diderita selama 27 tahun, dengan oedema di tangannya, gatal-gatal mungkin karena neuropati diabetikum. Mata kabur, tentu saja retinopati diabetikum. Lebih parah, saya melihat adanya tanda-tanda glaukoma pada mata kanannya.
Lalu?
Kasihan. DM merupakan penyakit kronis yang perjalanannya panjang tapi menjadi penyakit paling mengerikan. Kenapa? Merusak segalanya, mulai dari mata, saraf, ekstremitas (ulkus diabetikum), sampai keadaan gawat seperti asidosis, hipoglikemi, maupun hiperglikemi. Seorang penderita DM mulai dari muda, hingga menjadi geriatric tanpa perawatan dan kontrol DM yang memadai, sangat menderita. Hidup dengan DM saja menurut saya sudah merupakan cobaan, apalagi dengan DM yang tidak terkontrol. Retinopati diabetikum saja tidak dapat dicegah, hanya diperlambat kemunculannya. Dengan kata lain, retinopati pasti terjadi.
Kemudian?
Saya jadi berpikir, masih banyak ternyata masyarakat kurang mampu yang menderita penyakit metabolic-degeneratif yang tidak mampu memeriksakan kesehatannya. Sedangkan, salah satu misi saya menjadi dokter adalah: “menyisihkan sebagian waktu dan tenaga untuk masyarakat yang kurang mampu”.
Dokter interna, punya pasien banyak, tentu karena rentang usia dan cakupan ilmunya luas. Dokter pediatri, punya pasien yang banyak juga, rentang usia lebih sempit (0-18 tahun), namun cakupan ilmu lebih luas daripada interna. Tapi, kenapa saya menilai in case dokter adalah pekerja sosial, dokter interna punya peran yang lebih besar ya?
Jadi?
                Saya berpikir, kalau seorang Albert Schweitzer saja berani mengambil keputusan untuk sekolah kedokteran saat usianya sudah bukan usia kuliah lagi, hanya untuk membantu sesama yang membutuhkan di Afrika, kenapa saya tidak berani untuk bercita-cita menjadi dokter interna dan membantu masyarakat yang lebih banyak lagi?
Kesimpulan
                Saya tidak tahu seperti apa nanti hasilnya, tapi saya akan berusaha. :)

2 comments:

  1. luar biasa.
    iya tha, kamu tidak cocok bekerja di air. kamu cock jadi internis.

    ReplyDelete
  2. haha, konyol! :D

    kalo kamu pasti besok mau bikin search engine ya gil? namanya udah mirip: mbah google-mbah gilda..

    pripun niki mbah nasib kulo? :p

    ReplyDelete